Pringsewu, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Pringsewu, H. Mahfud Ali, memberikan tanggapannya mengenai pelibatan penghayat kepercayaan dalam aktivitas FKUB. Pelibatan penghayat kepercayaan dalam FKUB Pringsewu akan dipertimbangkan berdasarkan kemaslahatan dan jumlah penghayat kepercayaan di Kabupaten Pringsewu.
“Pelibatan penghayat kepercayaan dalam kegiatan FKUB tentunya akan melalui pengkajian yang mendalam. Kami akan mempertimbangkan aspek kemaslahatan dan menunggu isi Perpresnya seperti apa,” ujar H. Mahfud Ali, Minggu 4/8/2024).
Pernyataan ini muncul sebagai respons atas perkembangan terbaru dalam rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (RPerpres PKUB) yang mewacanakan bahwa FKUB kabupaten/kota dapat mengikutsertakan penghayat kepercayaan yang telah teregistrasi di Kemdikbudristek dalam tugas-tugas mereka.
Pelibatan ini menekankan pentingnya inklusivitas dan kerukunan umat beragama di Indonesia. FKUB Pringsewu sendiri berkomitmen untuk menjaga kerukunan dan toleransi antarumat beragama, termasuk penghayat kepercayaan, sesuai dengan peraturan yang berlaku dan demi kepentingan bersama.
Sebelumnya, FKUB bersama stake holder terkait telah melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan Dalam Masyarakat (Pakem) di Kantor Kejaksaan Pringsewu, Kamis (11/7/2024).
Pemerintah saat ini ia nilai sangat memperhatikan masyarakat dalam pelaksanaan ibadah dan kepercayaannya. Di antaranya adalah terkait dengan aliran kepercayaan yang saat ini sudah diakui dan masuk dalam kolom agama di KTP dan Kartu Keluarga.
Hal ini berawal pada 7 November 2017, saat Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi atas Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk.
Pasal 61 dan 64 itu menyebutkan bahwa elemen data penghayat kepercayaan di kolom agama e-KTP atau KK tidak dicantumkan. Akan tetapi, MK menganulir isi kedua pasal itu melalui Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 tanggal 18 Oktober 2017.
Pemerintah hadir dalam hal ini, menurut Kiai Mahfudz sebagai jaminan atas hak setiap warga negara dalam menganut agama dan kepercayaannya. Batasan yang perlu diperhatikan oleh para penganut kepercayaan adalah tidak menyimpangi atau menodai praktik dan peribadahan agama yang ada.
Suburnya aliran keagamaan dan kepercayaan, yang sudah menjadi sunnatullah (takdir Allah) untuk negeri Indonesia ini, menurutnya tak boleh menjadikan masyarakatnya terpecah belah. Karena tegasnya, kemanusiaan harus diutamakan di atas nama agama dan kepercayaan.
“Jika seseorang tidak baik dengan sesama manusia, maka yakinlah ia sedang tidak baik dengan Tuhannya,” katanya pada Rakor yang dihadiri unsur Kesbangpol, Kemenag, Dinas Pendidikan, Dinas Dukcapil, FKUB, dan pengurus Penganut Kepercayaan terhadap Tuhan yamg Maha Esa ini.
Kunci menghadapi keragaman, khususnya dalam hal agama dan kepercayaan, menurutnya adalah dengan senantiasa menjaga kerukunan. Berbeda tidak harus berhadap-hadapan namun bisa bersinergi untuk semakin menambah keindahan di masyarakat.
“Berbicara tentang kerukunan memang tidak seksi (menarik). Namun kerukunan akan sangat dirasakan pentingnya saat ketidakharmonisan dan konflik muncul, khususnya terkait agama,” katanya.
Sebelumnya terkait keputusan MK tentang aliran kepercayaan ini, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Lampung Prof H Muhammad Bahruddin mengungkapkan hal ini merupakan keputusan yang demokratis dan rasional. Keputusan tersebut harus dimaknai positif bahwa pemerintah menjamin hak setiap warga negara dalam memeluk agama dan kepercayaan.
“Namun keputusan tersebut tidak menjadikan kepercayaan setara dengan agama. Keputusan bolehnya mencantumkan aliran kepercayaan lebih bersifat administrasi kependudukan,” jelasnya.
Keputusan memasukkan aliran kepercayaan pada kolom agama di KTP tidak menjadikan penanganan para penganutnya berpindah dari Kementerian Pendidikan dan kebudayaan ke Kementerian Agama. Seperti diketahui bahwa aliran kepercayaan selama ini ditangani oleh Kemendikbud, sementara Kementerian Agama menangani enam agama resmi di Indonesia. (Muhammad Faizin)